Orang
yang beradzan (muadzin) memiliki keutamaan yang sangat mulia di sisi Allah Azza
wa Jalla, hal ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadits-haditsnya yang shahih. Di antara keutamaan muadzin
adalah:
1.
Seluruh makhluk yang mendengar adzan akan menjadi saksi pada hari kiamat.
2.
Muadzin akan dipanjangkan lehernya [1] nanti pada hari kiamat.
3.
Syetan lari terbirit-birit mendengar suara adzan dan iqamat.
4.
Muadzin akan diampuni dosa-dosanya.
5.
Muadzin akan mendapat pahala dari seluruh jama’ah yang hadir di masjid
tersebut.
6.
Muadzin akan mendapat balasan surga dan keluar dari neraka.
Lebih
utama mana, muadzin atau imam?
Terjadi
perselisihan di antara ulama tentang mana yang lebih utama dari perkara ini.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kedudukan muadzin lebih utama dari imam. Mereka
yang berpendapat seperti ini adalah Imam Asy Syafi’i dalam kitabnya Al Umm,
Imam An Nawawi dan juga Asy Syaikh Ibnu Utsaimin.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa kedudukan imam lebih tinggi. Di antara mereka (dari
kalangan mutaakhirin) adalah Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury. Di antara
bukti yang menunjukkannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
Khulafaur Rasyidin (yang mereka adalah imam) tidak ada satupun yang menjadi
muadzin.
Golongan
yang mengutamakan muadzin menjawabnya bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam dan khulafaur rasyidin tidak beradzan disebabkan sibuk dengan urusan
umat dan memimpin kaum muslimin, sedangkan muadzin dituntut untuk selalu siaga,
cermat, dan berlaku amanah dalam menentukan waktu-waktu shalat sehari semalam.
Sehingga menggabungkan ke-imam-an dan adzan bagi seorang pemimpin/khalifah
adalah perkara yang berat.
Dalam
hal ini Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Andaikata saya mampu
untuk beradzan sekaligus memegang pemerintahan niscaya saya akan beradzan.” Penulis
simpulkan, bahwa dalil-dalil yang berkenaan dengan keutamaan adzan lebih
banyak. Namun kedua amalan ini masing-masing mempunyai keutamaan. Ada keutamaan
adzan yang tak didapat oleh imam dan ada pula keutamaan imam yang tidak didapat
oleh muadzin. Wallahu a’lam.
Kriteria
Seorang Muadzin
Seorang
muadzin hendaknya memiliki sifat-sifat berikut:
1.
Muslim dan berakal.
Para
ulama menyebutkan bahwa di antara syarat sahnya adzan adalah Islam dan berakal.
Sehingga tidak sah adzannya orang kafir atau orang gila. Dalil yang menunjukkan
tentang masalah ini adalah firman Allah:
“Dan
kalaulah mereka berbuat syirik niscaya gugurlah amalan mereka semuanya.” (Al
An’am: 88)
Dan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Terangkat
pena (pencatat amal) dari tiga jenis manusia. Anak kecil sampai baligh, orang
yang tertidur hingga dia bangun dan orang gila sampai dia sadar.” (HR. Ahmad
dan Ash-habus Sunan)
2.
Baik agamanya.
Hendaklah
muadzin bersifat adil. Adapun jika muadzin adalah orang yang menampakkan
kemunafikan maka para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang rajih adalah yang
menyatakan sahnya. Namun jika ada orang yang adil maka tentunya orang tersebut
yang diutamakan.
Allah
berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian orang fasiq membawa berita
maka hendaklah dia memeriksa dengan teliti.” (Al Hujurat: 6)
Dan
dalam riwayat lain dengan lafadz “ujilah kebenaran beritanya”.
3.
Baligh.
Syarat
yang ketiga, hendaknya muadzin telah baligh. Namun bila keadaan terpaksa, adzan
anak kecil yang belum baligh tetap dinilai sah. Pernah terjadi di zaman Nabi,
seorang shahabat bernama Amr bin Abu Salamah Al Jurmy menjadi imam pada suatu
kaum sementara umurnya baru 6 tahun. Bila anak kecil sah menjadi imam maka
sudah selayaknya sah pula untuk jadi muadzin. Begitupun Anas bin Malik tidak
mengingkari adzannya anak kecil.
4.
Memiliki sifat amanah.
Hendaknya
muadzin adalah seorang yang amanah/bisa dipercaya, sebab adzan berkaitan dengan
waktu sholat. Adzannya orang yang tidak amanah sulit dipercaya, apakah tepat
waktunya atau tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Imam
adalah penanggung jawab sedangkan muadzin adalah orang yang bisa dipercaya…”
(HR. Ahmad (6872), dll dari Abu Hurairah)
5.
Bersuara lantang dan bagus.
Hendaknya
suara muadzin itu bersuara lantang dan bagus. Demikianlah yang dituntunkan oleh
Nabi. Sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdullah
bin Zaid:
“Lakukanlah
bersama Bilal, ajarkan kepadanya apa yang kamu lihat dalam mimpimu. Dan
hendaklah dia beradzan karena dia lebih tinggi dan bagus suaranya dari kamu.”
(HR. Tirmidzi (174) dan Ibnu Majah (698) dari Abdullah bin Zaid)
Dan
juga sabda beliau:
“Jika
kalian adzan, angkatlah suara kalian karena tidaklah ada makhluk Allah yang
mendengar adzan kalian, baik jin, manusia, atau apa saja kecuali masing-masing
mereka akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari (574) dari Abu Said
Al Khudri)
Mana
yang diutamakan, suara keras atau bagus?
Sebagaimana
dibahas pada bab sebelumnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memilih
Bilal untuk melakukan adzan, padahal yang melihat dalam mimpi adalah Abdullah
bin Zaid dan Umar bin Al Khaththab yang tentunya mereka lebih tahu caranya
daripada Bilal. Adapun tentang suara, maka suara Umar juga keras/lantang. Namun
demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memilih Bilal daripada Umar.
Ini menunjukkan bahwa suara Bilal disamping jeras juga lebih merdu dibandingkan
keduanya sebagaimana dalam hadits:
“Sesungguhnya
dia (Bilal) lebih lantang dan merdu suaranya dibandingkan engkau (Abdullah bin
Zaid).” (HR. Tirmidzi dari Abdullah bin Zaid)
Berdasarkan
hadits ini maka disimpulkan bahwa suara yang bagus lebih diutamakan daripada
suara yang keras. Jika dua orang sama-sama memiliki suara bagus dan keras maka
yang diutamakan adalah yang paling mengerti waktu-waktu shalat, dan begitu
seterusnya.
Bolehkah
muadzin meminta upah dari pekerjaannya?
Hendaknya
bagi muadzin tidak mengambil upah dalam beradzan, karena Allah menjanjikan
pahala besar bagi seorang muadzin. Bahkan secara tegas Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Jadikan
muadzin yang tidak mengambil upah dalam adzannya.” (HR. Abu Dawud (447) dari
Utsman bin Abil Ash). Sebab
bila tujuan dari adzan bukan untuk Allah dan hanya mengharapkan dunia semata,
maka selain tidak mendapat pahala, orang tersebut akan mendapat siksa dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka balasan amalan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak
dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang di akhirat tidak akan memperoleh
apa-apa kecuali neraka dan lenyaplah semua yang mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang mereka usahakan.” (Hud: 15-16)
Itulah
balasan orang yang tujuannya hanya mencari dunia tanpa mengharap pahala di
akhirat. Adapun
seorang muadzin yang melakukan adzannya dengan ikhlas untuk Allah namun di lain
sisi ia juga meminta upah dari adzannya maka hal ini diperbolehkan. Sebagaimana
hal ini dinukilkan oleh Ibnu Qudamah. Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam
Asy Syafi’i, dan lain-lain.
Terlebih
jika dalam negara tersebut terdapat Baitul Mal seperti Saudi, Emirat, Kuwait
dll. Negara-negara tersebut menggaji para muadzin, dan tidak ada ulama yang
mengingkarinya. Wallahu a’lam.
Ketentuan
dan Tata Cara Adzan
Seorang
muadzin hendaknya memperhatikan perkara-perkara berikut:
1.
Suci dari hadats besar dan kecil.
Sudah
selayaknya seorang muadzin dalam keadaan suci dari hadats besar maupun kecil.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya
Allah mencintai orang yang gemar bertaubat dan mensucikan diri.” (Al Baqarah:
222)
Dan
dalam hadits disebutkan:
“Suatu
hari aku (bilal) berwudlu kemudian aku berdiri untuk melakukan adzan shalat.”
(HR. Abu Dawud, hasan shahih)
Syaikh
Yahya bin Ali Al Hajuri menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan disyariatkannya
wudlu ketika hendak adzan. Bila terpaksa dilakukan dalam keadaan junub maka
hukumnya makruh namun adzannya tetap sah.
2.
Adzan dengan berdiri.
Disunnahkan
bagi seorang muadzin untuk adzan denan berdiri. Sesuai dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Berdirilah
wahai Bilal kemudian serukanlah adzan untuk shalat.” (HR. Tirmidzi (175) dari
Abdullah bin Zaid)
Sebagian
ulama mengatakan bahwa kata “Qum” (berdirilah) adalah perintah untuk menunaikan
adzan dan bukan perintah untuk berdiri. Maka para ulama mengatakan bahwa
disunnahkan bagi muadzin untuk berdiri tapi jika ia melakukan dengan duduk maka
adzannya sah.
3.
Menghadap kiblat.
Disunnahkan
pula bagi orang yang adzan untuk menghadap kiblat. Ibnul Mundzir telah
menukilkan ijma’ dalam hal ini. Dan amalan para ulama salaf, ketika mereka
membaca Qur’an, bermajelis ta’lim, muraja’ah hadits, dzikir dan sebagainya
mereka enggan untuk menghadap selain arah kiblat.
Arah
kiblat mempunyai keutamaan, oleh karenanya kita dilarang untuk meludah ke arah
kiblat waktu shalat sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika
kalian dalam keadaan shalat maka janganlah kalian meludah ke arah kiblat.” (HR.
Abu Dawud (404) dari Thariq bin Abdillah Al Muhariby)
Sehingga
kaum muslimin hendaknya pun melakukan dzikir kepada Allah menghadap kiblat
begitu pun tatkala menyerukan adzan yang merupakan syariat yang mulia.
Namun
menghadap kiblat bukanlah syarat sahnya adzan, sehingga adzan tetap dinilai sah
meskipun muadzin tidak menghadap arah kiblat.
4.
Adzan di tempat yang tinggi.
Disunnahkan
pula untuk adzan di tempat yang tinggi sesuai dengan hadits yang diriwayatkan
dari seorang wanita Bani Najjar ia berkata:
“Adalah
rumahku paling tinggi di antara rumah-rumah yang berada di sekeliling masjid.
Dan waktu itu Bilal beradzan subuh. Dia datang waktu sahur kemudian duduk di
atas rumah untuk melihat fajar. Kalau dia sudah melihat maka dia berjalan untuk
beradzan.” (HR. Abu Dawud 435)
Tujuan
adzan di tempat tinggi adalah agar suaranya bisa terdengar di segala penjuru.
Namun dengan kemajuan teknologi, kini suara adzan bisa dikuatkan dengan
mikrofon sehingga suara lebih keras dan menjangkau berbagai penjuru. Adzan yang
semacam ini sah. Dan tidak ada ulama zaman ini yang mengingkari hal tersebut
seperti Asy Syaikh Ibnu Baz, Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’y, Asy Syaikh
Ibnu Utsaimin, Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi dan sebagainya.
5.
Memperhatikan tajwid.
Seorang
muadzin hendaknya memperlambat bacaan adzan dan mempercepat bacaan iqamah. Dan
hendaknya pula seorang muadzin benar-benar menguasai ilmu tajwid. Menerapkan
tajwid dalam adzan adalah kewajiban sebagaimana dalam bacaan Al Qur’an. Hanya
saja ukuran panjang dari mad far’i (Mad Ja’iz Munfashil) pada bacaan adzan ada
ketentuan tersendiri. Para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa
yang afdhal adalah 10 harakat atau 14 harakat. Ada pula yang berpendapat bahwa
yang lebih utama adalah mengikuti kaidah tajwid yaitu sekitar 6 harakat.
Wallahu a’lam.
6.
Meletakkan jari-jari di telinga ketika adzan.
Salah
satu cara agar suara adzan bisa keras dan bagus adalah dengan memasukkan jari
ke lubang telinga. Jumhur ulama mengatakan sunnah bagi muadzin untuk meletakkan
jari tangannya ke dalam dua lubang telinganya ketika adzan. Sesuai dengan sabda
hadits berikut:
Dari
Abu Juhaifah ia berkata, “Aku melihat Bilal adzan dan aku ikuti bibirnya ke
arah sini dan ke arah situ dan jari tangannya berada di dalam kedua lubang
telinganya.” (HR. Bukhari (598), Muslim (777) dari Abu Juhaifah)
7.
Menengok ke kanan dan ke kiri ketika haya’alatain.
Disunnahkan
bagi muadzin ketika mengucapkan haya’alatain untuk menengok ke kanan dan kiri
tanpa diikuti badannya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Saya
berusaha mengikuti bibirnya, mengucapkan ke kanan dan kiri hayya ‘alash shalah
– hayya ‘alal falaah.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Juhaifah)
Disebutkan
oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumti’, “Tidak sepantasnya bagi
muadzin setelah mengucapkan hayya’alatain baru menengok. Ini tidak ada asalnya.
Demikian pula ketika salam dalam shalat. Jika ia lupa menengok ke kanan atau ke
kiri karema lupa atau tidak tahu hukumnya maka adzannya sah dan bagi yang sudah
tahu hendaklah dia mengamalkannya.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
[Diambil
dengan diringkas dari buku "Adzan Keutamaan, Ketentuan dan 100
Kesalahannya" karya Al Ustadz Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori,
penerbit: Daarul Atsar, hal. 17-18, 21-23, 49-59, dan 74-76]
____________________
[1]
Para ulama berselisih paham dalam memaknakan lafazh “panjang lehernya”,
a)
Sebagian ulama memaknai sesuai dhahirnya, bahwa pada hari kiamat para muadzin
lehernya paling panjang di antara makhluk Allah yang lain (secara hakiki).
b)
Sebagian lagi mengatakan bahwa tatkala manusia berkeringat dan tergenang dalam
keringatnya, di antara mereka ada yang keringatnya sampai mata kaki, pinggang,
mulut, bahkan sebagian lagi tenggelam dalam keringatnya, maka di saat itulah
Allah selamatkan para muadzin dengan dipanjangkan lehernya sehingga mereka
tidak ditimpa madlarat sedikitpun.
c)
Sebagian lagi mengatakan bahwa para muadzin paling banyak pengikutnya pada hari
kiamat.
d)
Sebagian lagi mengatakan bahwa para muadzin paling banyak mendapat pahala pada
hari kiamat.
e)
Sebagian lagi mengatakan bahwa para muadzin termasuk golongan yang paling mulia
kedudukannya di akhirat nanti. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment